A.
Pengertian
Manajemen Likuiditas
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang
memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau
dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat
ditagih baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga.
Manajemen likuiditas bank Syariah diartikan sebagai suatu
program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua
kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Tujuan
manajemen likuiditas adalah :
1.
Mencapai
cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalau tidak
dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral.
2. Memperkecil
dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan mengurangi
profitabilitas bank.
3.
Mencapai
likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam kondisi yang
sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman.
B. Pengelolaan likuiditas dalam perbankan syariah
Fungsi dari manajemen likuiditas
salah satunya adalah untuk memberikan keyakinan kepada para penyimpan dana
bahwa deposan dapat menarik sewaktu-waktu dananya atau pada saat jatuh tempo
dana tersebut dapat ditarik. Oleh karena itu bank wajib mempertahankan sejumlah
dana likuid agar bank dapat memenuhi kewajibannya tersebut.
Dalam bank
syariah manajemen likuiditas secara
konsep tidak jauh berbeda dengan manajemen bank konvensional. Yang
membedakan hanyalah pada akad yang digunakan ketika melakukan kontrak. Selama
ini alat untuk manajemen likuiditas dalam bank syariah adalah PUAS (pasar uang
antar bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank
syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad wadiah.
Apabila suatu bank kekurangan likuiditas, maka bank tersebut akan meminjam
kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA, dan sebaliknya.
C.
Istrumen
Likuiditas Bank Syariah
Adapun
instrumen yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah :
1.
Memiliki
Primary Reserve ( Cadangan Primer )
yaitu
dalam kas atau saldo yang ada pada Bank Indonesia atau Bank lain. Dalam dunia perbankan, primary
reserve terdiri dari:
a. Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM)
Selama ini Giro pada bank sentral
dikenal dengan istilah yakni merupakan kewajiban setiap bank untuk menitipkan
dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan BI, maka besarnya
GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK) untuk valuta rupiah dan 3%
dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, bagi Bank Umum Syariah yang
memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat
tambahan GWM sebagai berikut:
1) Yang memiliki DPK > Rp 1 triliun
s/d Rp 10 triliun wajim memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 1% dari
DPK dalam rupiah.
2) Yang memiliki DPK > Rp 10 triliun
s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari
DPK dalam rupiah.
3) Yang memiliki DPK > Rp 50 triliun
wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK dalam
rupiah. Sedangkan bagi yang memiliki
rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan /atau
yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan
tambahan GWM.
b. Kas pada valuta.
Alat likuid ini berisi uang tunai
yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari.
c. Giro pada Bank lain
Rekening giro pada bank lain
bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer, inkaso, transaks
L/C, dan lain-lain)
d. Item-item uang tunai yang masih
dalam proses inkaso.
Tujuan dari alat likuid yang
termasuk ke dalam kategori primary reserve ( cadangan primer ) adalah:
a. Memenuhi reserve requirement yang
ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia.
b. Memenuhi keperluan operasional bank sehari-hari.
c. Penyelesaian kliring antar bank.
d. Memenuhi kewajiban jangka pendek
yang jatuh tempo.
Dapat di katakana likuid apabila
bank syariah dapat memelihara GWB di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, dapat memelihara giro di Bank Koresponden dengan besarnya
berdasarkan saldo minimum, dapat memelihara sejumlak kas secukupnya untuk
memenuhi pengambilan uang tunai.
2.
Memiliki
Secondary Reserve
Yaitu cadangan yang berfungsi
sebagai penyangga Primary Reserve, ditanam dalam bentuk investasi jangka
pendek.
Adapun cadangan sekunder berupa
surat-surat berharga bisa berupa:
a.
Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Peraturan Bank Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
Peraturan Bank Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
b. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Berdasarkan Undang-Undang SBSN yang diterbitkan pada Mei
2008, Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah
surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah
ataupun mata uang asing.
3. Mempunyai akses ke pasar uang.
Pasar
uang yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar
modal syariah.
a. Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
Pasar
Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka
pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta
asing.
b. Pasar Modal Syariah
Instrument di pasar modal syariah
saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta Islamic Index, Sukuk, dan
reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan berinvestasi pada saham,
maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary reserve dimana instrument
ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan dicairkan untuk reksadana
syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah membutuhkan dana jangka
pendek.
c. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS)
FPJPS
merupakan instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan
tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka
pendek.
d. LPS Sebagai Sarana Penunjang
Likuiditas Perbankan
LPS
adalah badan hukum yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan
tanggal 22 September 2004. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk
tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro
wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.